8Warisan Budaya Indonesia yang Pernah Diklaim Malaysia . Karena budaya bangsa lain adalah hak milik negara lain yang dilestarikan dengan cara turun temurun di daerah itu sendiri. Budaya masing-masing negara mempunyai hak milik tersendiri dan negara lain tidak boleh mengklaim budaya bangsa asing sebagai bentuk menghargai budaya mereka
Sebagaimana masyarakat lain di planet Bumi ini, masyarakat Indonesia yang terdiri atas ratusan suku dan etnis ini juga memiliki tradisi dan kebudayaan yang khas dan unik, baik yang murni dibentuk oleh faktor-faktor lokal, global atau internasional, maupun gabungan lokal dan global yang oleh sosiolog Roland Robertson disebut “glokal” atau “glocalization”. Meskipun Indonesia memiliki tradisi dan kebudayaan yang sangat kaya, tetapi bukan berarti bahwa tradisi dan kebudayaan itu bisa eksis selamanya. Jika tradisi dan kebudayaan warisan leluhur itu tidak dirawat, dijaga, dan dilestarikan dengan seksama, maka bukan hal yang mustahil jika kelak tradisi dan budaya itu tinggal kenangan saja. Bukan hanya kelak, sekarang pun bahkan sudah terjadi. Sejumlah tradisi dan kebudayaan warisan leluhur bangsa “lenyap dari peredaran” karena sejumlah faktor. Misalnya, generasi muda Jawa khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur mana sekarang yang mengenal sistem tulisan carakan atau “ho no co ro ko” yang dulu diajarkan di sekolah dan dipraktikkan di masyarakat? Hampir dipastikan warisan budaya ini segera musnah karena tidak lagi dipraktikkan di masyarakat. Siapa kini yang peduli untuk menjaga, merawat, melestarikan, memperjuangkan, atau bahkan mengembangkan warisan tradisi dan khazanah kultural, intelektual, dan spirititual serta nilai-nilai luhur leluhur nusantara kita? Siapa yang peduli memperkenalkan kekayaan khazanah kebudayaan nusantara ke masyarakat luas, lebih-lebih dunia internasional atau mancanegara? Pertanyaan ini gampang tapi tak mudah untuk menjawabnya. Budaya yang Baik dan yang Buruk Tentu saja tidak semua praktik tradisi dan kebudayaan masyarakat suku-etnis di Indonesia perlu dilestarikan. Tradisi dan budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai universal kemanusiaan tentu saja tidak perlu dilestarikan. Misalnya, tradisi potong jari jika ada anggota keluarga yang meninggal di sebuah masyarakat suku di Papua atau tradisi membunuh sebagai bentuk kehormatan untuk membela martabat keluarga atau kelompok klan dan suku yang dalam antropologi budaya disebut “honor killing”. Tetapi tradisi dan kebudayaan yang dianggap baik secara universal dan bermanfaat bagi publik luas sangat perlu untuk dijaga, dirawat, dilestarikan, dipertahankan, diperjuangkan, dan bahkan disebarluaskan. Penegasan ini penting apalagi dewasa ini, alih-alih merawat dan mengembangkan tradisi dan kebudayaan nusantara, banyak pihak yang justru cuek dan mengabaikannya. Bukan hanya itu saja, ada bahkan kelompok sosial-keagamaan, baik dalam Islam maupun Kristen, yang malah mendiskreditkan, melecehkan, mengharamkan, dan mengtabukan tradisi asli dan budaya lokal nusantara dengan alasan bertentangan dengan syariat/akidah Islam dan Kristen. Penulis Sumanto al QurtubyFoto DW/A. Purwaningsih Dua Kelompok Kontrabudaya Nusantara Setidaknya ada dua kelompok kontra nusantara yang jika tidak diantisipasi dengan baik bisa berpotensi menghilangkan tradisi dan kebudayaan nusantara di masa mendatang. Kedua kelompok ini ada di dalam struktur pemerintah maupun di luar pemerintah state and society. Kelompok pertama adalah kelompok modernis yang tergila-gila dengan modernitas kemodernan atau kekinian dan kemajuan. Karena terlalu terobsesi dengan kemajuan dan gemerlap dunia modern, mereka mengabaikan hal-ihwal yang berbau lokal karena dianggap tradisional, kuno, kolot, old-fashion, tidak fashionable, atau bahkan “ndeso” dan “kampungan”. Biasanya kelompok ini tergila-gila dengan masyarakat yang mereka bayangkkan atau imajinasikan sebagai “masyarakat maju” dalam hal pendidikan, pengetahuan, sains dan teknologi, perabadan, dan seterusnya. Karena Barat khususnya Amerika Serikat atau Eropa Barat kebetulan saat ini yang dipersepsikan sebagai simbol kemodernan dan kemajuan itu, maka banyak masyarakat Indonesia dewasa ini, tua-muda, laki-perempuan, yang berbondong-bondong meniru “gaya Barat”, baik dalam hal tata-busana, bahasa percakapan maupun pergaulan sehari-hari. Dulu, pada zaman kolonial Belanda, sekelompok elite “pribumi” juga tergila-gila dengan “kompeni” yang karena dianggap sebagai representasi dari kemodernan dan kemajuan tadi. Kedua adalah kelompok agamis, khususnya “kelompok Islamis” dan juga “kelompok syar’i” tetapi juga sejumlah kelompok Kristen puritan-reformis yang juga kontra terhadap tradisi dan budaya lokal nusantara. Harap dibedakan antara “kelompok agama” dan “kelompok agamis”, antara “kelompok Islam” dan “kelompok Islamis” silakan baca karya Bassam Tibi, Islamism and Islam. Yang dimaksud dengan “kelompok agamis” disini baik muslim maupun nonmuslim adalah kelompok fanatikus agama atau kaum reformis-puritan yang mengidealkan kemurnian dan kesempurnaan praktik doktrin dan ajaran agama yang bersih dan murni dari unsur-unsur lokal. Bagi kelompok agamis ini, mempraktikkan elemen-elemen tradisi dan budaya lokal dianggap sebagai perbuatan syirik atau tindakan bid’ah atau bidat yang bisa mengganggu dan menodai otentisitas, kesucian, dan kemurnian doktrin dan ajaran agama mereka. Oleh mereka, aneka adat, tradisi, dan budaya lokal itu dianggap tidak relijius tidak Islami, tidak kristiani dan seterusnya, dan karena itu harus dijauhi dan ditolak karena bertentangan dengan Kitab Suci, teologi atau aqidah, praktik kenabian, serta doktrin dan ajaran normatif agama mereka. Bukan hanya itu saja. Atas nama pemurnian ajaran agama, mereka juga menyerang berbagai aset kultural, nilai-nilai luhur leluhur, dan khazanah keilmuan nenek moyang nusantara karena dianggap bid’ah atau bidat tidak dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan generasi awal Islam atau oleh Yesus dan rasul mula-mula dituduh tidak agamis, dicap tidak syar’i, atau dipandang tidak sesuai dengan ajaran normatif keagamaan tertentu, seraya memperkenalkan dan dalam banyak hal memaksakan doktrin, wacana, gagasan, pandangan, dan ideologi keagamaan eksklusif-puritan dan aneka ragam budaya luar kepada masyarakat Indonesia. Jika “kelompok modernis” di atas mengabaikan tradisi dan budaya lokal lebih karena alasan-alasan yang bersifat profan-sekuler-duniawi, maka “kelompok agamis” menolak adat, tradisi, dan kebudayaan lokal karena alasan teologi-keagamaan yang bersifat sakral-relijius-ukhrawi. Berbeda dengan “kelompok modernis”, “kelompok agamis” ini sangat agresif dalam menyerang hal-ihwal yang berbau lokal. Mereka bukan hanya sekedar mengabaikan dan tak mempraktikkan tradisi dan budaya lokal tetapi juga mengadvokasi untuk memusnahkannya. Meskipun “kelompok modernis”, atau tepatnya sejumlah faksi militan kelompok modernis, dalam batas tertentu, juga menyerang tradisi dan budaya lokal nusantara tetapi mereka tidak seekstrim seperti yang dilakukan oleh “kelompok agama” yang mengampanyekan atau bahkan mempropagandakan penghancuran tradisi, budaya dan nilai-nilai luhur leluhur nusantara. Tanggung Jawa Bersama Untuk melestarikan tradisi dan kebudayaan bangsa Indonesia, maka perlu upaya dan keseriusan semua pihak, baik negara maupun masyarakat, baik pemerintah maupun rakyat. Karena ini merupakan tanggung jawa bersama. Kerja sama intensif negara-masyarakat state-society cooperation ini menjadi kunci bagi kelestarian tradisi dan kebudayaan luhur warisan leluhur bangsa Indonesia agar tak punah di kemudian hari akibat kelengahan kita. Semoga bermanfaat. Sumanto Al Qurtuby adalah Direktur Nusantara Institute; dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi; Visiting Senior Scholar di National University of Singapore, dan kontributor di Middle East Institute, Washington, Ia memperoleh gelar doktor PhD dari Boston University. Selama menekuni karir akademis, ia telah menerima fellowship dari berbagai institusi riset dan pendidikan seperti National Science Foundation; Earhart Foundation; the Institute on Culture, Religion and World Affairs; the Institute for the Study of Muslim Societies and Civilization; Oxford Center for Islamic Studies, Kyoto University’s Center for Southeast Asian Studies, University of Notre Dame’s Kroc Institute for International Peace Studies; Mennonite Central Committee; National University of Singapore’s Middle East Institute, dlsb. Sumanto telah menulis lebih dari 25 buku, puluhan artikel ilmiah, dan ratusan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Di antara jurnal ilmiah yang menerbitkan artikel-artikelnya, antara lain, Asian Journal of Social Science, International Journal of Asian Studies, Asian Perspective, Islam and Christian-Muslim Relations, Southeast Asian Studies, dlsb. Di antara buku-bukunya, antara lain, Religious Violence and Conciliation in Indonesia London Routledge, 2016 dan Saudi Arabia and Indonesian Networks Migration, Education and Islam London & New York Tauris & Bloomsbury. *Setiap tulisan yang dimuat dalam DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. *Tulis komentar Anda di kolom di bawah ini. Indonesiamerupakan salah satu negara yang memiliki kurang lebih 17.508 pulau (Ardi, 2021). Dari banyaknya jumlah pulau yang ada menyebabkan Indonesia kaya akan keragaman budaya salah satunya adalah wayang. Wayang merupakan kesenian unik Indonesia yang berkembang pesat di pulau Jawa dan Bali. Pada masa hindu budha wayang dijadikan media untuk KeseJika selama ini Parents hanya mengenal wayang kulit atau wayang golek, maka penting untuk mengetahui lebih lanjut tentang ragam hingga sejarah wayang sebagai cara untuk melestarikan warisan budaya. Dan perlu diketahui, ada banyak jenis wayang di Indonesia yang bisa Anda kenalkan pada si buah hati. Baca Juga Budaya Batik, Mengenalkan Budaya Bangsa Wayang adalah salah satu jenis kesenian tradisional di Indonesia yang telah diakui UNESCO sejak 7 November 2003 dan menurut sebuah prasasti Balitung, wayang merupakan peninggalan sejarah kerajaan Mataram Kuno serta sudah ada sejak abad ke-4 Masehi. Meskipun sudah banyak kesenian modern yang muncul di Indonesia, namun kesenian Wayang masih mendapatkan tempat di masyarakat Indonesia. Yuk simak jenis wayang yang merupakan warisan budaya khas Indonesia ini. 1. Wayang Kulit Jenis wayang kulit merupakan wayang yang paling populer dikenal masyarakat luas daripada jenis lainnya. Seperti namanya, wayang kulit terbuat dari kulit kerbau, penggerak wayangnya terbuat dari tanduk kerbau, dan bisa juga diganti menggunakan kulit kambing. Wayang kulit punya karakter yang sangat khas bernama Punakawan Semar, Bagong, Gareng, dan Petruk. Pertunjukan seni ini dapat dijumpai di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Seringnya, lakon cerita wayang juga menyelipkan nilai pendidikan etika, moral, serta budi pekerti luhur. 2. Jenis Wayang Golek Sumber laman Museum Gubug Wayang Mojokerto Wayang golek merupakan jenis wayang yang terbuat dari boneka dan sudah dikemas dalam bentuk 3D dengan bahan baku utama pembuatan menggunakan kayu. Pementasan wayang golek sedikit berbeda dengan wayang kulit, ia tidak menggunakan teknik layar di belakang panggung atau teknik bayangan. Wayang golek akan dimainkan langsung oleh sang dalang yang duduk di bawah panggung. Kisah yang diangkat pada setiap cerita wayang biasanya juga sarat dengan nilai filosofis warisan budaya Indonesia, tak jarang juga mengangkat fase tertentu pada kehidupan manusia. 3. Wayang Wong atau Wayang Orang Sumber Kumpul Berita Berbeda dengan jenis wayang sebelumnya, wayang wong justru dimainkan langsung oleh orang asli dengan menggunakan kostum khusus mewakili lakon pewayangan yang sedang diperankan. Pertunjukan wayang wong yang masih ada hingga saat ini adalah wayang wong Bharata kawasan Pasar Senen Jakarta, TMII, Surakarta, Semarang, dan masih banyak lagi. Pertunjukan wayang tak selamanya membosankan karena diselingi juga dengan hiburan yang kerap kali membuat penontonnya tertawa bahagia. Baca Juga 10 Warisan Budaya Indonesia yang Terancam Punah 4. Jenis Wayang Bambu Wayang bambu adalah wayang yang terbuat dari bambu dan merupakan kesenian khas yang berasal dari Kampung Cijahe, Bogor, Jawa Barat. Jenis wayang yang satu ini sedikit berbeda dengan wayang lainnya yang sering mengusut kisah sejarah kerajaan terdahulu. Wayang ini seringnya mengusung cerita kehidupan sehari-hari atau kehidupan bermasyarakat serta dibawakan dalam bahasa Sunda. 5. Wayang Suket Seperti namanya, wayang suket terbuat dari kumpulan helaian rumput yang ditusuk kemudian dililit hingga terwujud menjadi bentuk tokoh pewayangan. Wayang suket kerap kali digunakan sebagai alat permainan dan penyampaian cerita pewayangan untuk anak-anak desa di daerah Jawa. Salah satu seniman yang dikenal sebagai tokoh yang mengangkat wayang suket menjadi pertunjukan panggung adalah Slamet Gundolo, seniman asal Tegal. 6. Jenis Wayang Beber Wayang beber adalah jenis wayang yang cukup unik karena disajikan dalam bentangan kertas bergambar wayang yang nantinya akan diceritakan langsung oleh dalang. Pertunjukan wayang ini berkembang pesat di daerah Jawa bagian Wengker Ponorogo dan Pacitan. Wayang ini merupakan jenis wayang yang paling tua di Indonesia dan peninggalan langsung Raja Brawijaya yang kemudian diwariskan secara turun temurun. Konon kabarnya, oleh Walisongo wayang beber ini sudah dimodifikasi ulang menjadi bentuk wayang kulit yang sifatnya berupa ornament saja karena ajaran Islam tidak menganjurkan bentuk gambar menyerupai makhluk hidup maupun patung. Wayang yang telah dimodifikasi ini merupakan wayang yang digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam. Dengan adanya wayang ini, terbukti juga bahwa manfaat wayang di Indonesia tak hanya warisan budaya saja, namun sekaligus menanamkan nilai religius. Baca Juga 7 Situs Budaya yang Batasi Turis di Dunia, Demi Kelestarian Budaya 7. Kesenian Wayang Klithik Wayang Klithik merupakan wayang yang terbuat dari kayu mirip seperti wayang kulit namun ukurannya lebih kecil. Wayang ini masih bertahan dan ada di daerah Desa Wonosoco, Undaan, Kudus, Jawa Tengah. Nama lain dari wayang ini adalah wayang krucil karena bentuknya yang kecil. Berbeda dengan wayang golek, jenis wayang ini berbentuk pipih atau gepeng. Kisah yang sering dilakonkan dengan wayang Klithik adalah cerita Damarwulan yang sudah ada sejak masa Kerajaan Majapahit. Ia merupakan abdi andalan Patih Lor Gender yang konon sangat tampan sehingga memikat sang putri Raja Majapahit. 8. Wayang Potehi Jenis wayang Potehi ini sudah ada sejak 3000 tahun yang lalu dan berasal dari kebudayaan masyarakat Tiongkok, China. Potehi sendiri merupakan bahasa China yang artinya boneka kantong kain dan wayang ini terbuat dari kain perca. Kesenian wayang Potehi dulunya dibawa oleh perantau Tionghoa menjelajahi seluruh Nusantara dan sudah ada sejak tahun 256 – 420 masehi serta dikenal di Indonesia pada abad ke-16. 9. Jenis Wayang Motekar Wayang Motekar adalah jenis pertunjukan teater bayang-bayang yang mirip dengan wayang kulit namun terbuat dari plastik berwarna dan tergolong wayang yang sudah modern. Wayang Motekar ditemukan oleh Herry Dim sejak tahun 1993 hingga 2001 karena terus mengalami modifikasi hingga sudah perwujudan versi ke-empat. 10. Wayang Gambuh Wayang Gambuh merupakan jenis wayang kulit yang asalnya dari Bali dan cukup langka. Pada pagelaran wayang gambuh biasanya diceritakan tentang cerita Malat, mirip seperti wayang Panji yang ada di daerah Jawa. Pertunjukan wayang ini mengacu pada Dramatari Gambuh yaitu teater drama tari Bali yang bermutu tinggi dan merupakan dramatari klasik yang kaya akan gerak gerik tarian klasik Bali. Kabarnya, perangkat wayang gambuh yang ada di Blahbatuh adalah pemberian dari Raja Mengwi I Gusti Agung Sakti Blambangan yang membawa wayang dari Tanah Jawa tahun 1634. Nah, itulah 10 jenis wayang yang ada di Indonesia. Meskipun kini pementasan kian jarang ditemui di acara-acara atau pagelaran pesta rakyat, namun mengetahui ragam jenis wayang yang ada di Indonesia tentu bisa jadi edukasi dan cara terbaik untuk melestarikan kebudayaan Tanah Air ini agar tidak punah termakan kecanggihan teknologi dan modernitas zaman. Untuk itu, sesekali mengajak si kecil melihat pementasan wayang bisa jadi liburan yang seru dan menyenangkan. Selain sebagai alternatif hiburan, melihat pementasan wayang juga membuat si kecil jadi tahu sejarah pewayangan di Indonesia. Apakah Parents tertarik mengajak si kecil untuk mengunjungi pementasan wayang? Baca Juga Warisan Budaya Indonesia yang Diakui Dunia dan Pentingnya Mengenalkan Warisan Budaya ke Anak Kenalkan Ragam Budaya pada Anak, Yuk, Kenalkan 36 Gambar Rumah Adat di Indonesia 4 Jejak Sejarah dan Budaya Islam di Nusantara, Yuk Ajarkan pada Si Kecil! Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android. kHU8w.